Kamis, 03 September 2015

RNGKASAN PENGELOLAAN TANAH DAN AIR

PENGELOLAHAN TANAH DAN AIR



TUGAS

OLEH:
ARDINA/130301074
AGREOKOTEKNOLOGI II




 






                                                                                                                      


LABORATORIUM KIMIA DAN KESUBURAN TANAH
 PRAKTIKUM PENGELOLAAN TANAH DAN AIR
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014



1.      TANAH SULFAT MASAM
Pengertian tanah sulfat masam
Luas lahan sulfat masam di dunia diperkirakan 14 juta ha, diantaranya 10 juta ha tersebar diwilayah tropik. Sebagian lahan gambut dangkal di Indonesia berasosiasi dengan sulfat masam. Hasil survei Euroconsult (1984) menunjukkan luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 2 juta ha. Diperkirakan luas lahan sulfat masam sekitar 6,70 juta ha. Keadaan ini menunjukkan terjadinya perluasan lahan sulfat masam. Hal ini memnungkinkan karena terjadinya penipisan lapisan atas (lapisan organik) sehingga mendekatkan lapisan pirit ke permukaan (Noor, 1996 dalam Repositori Universitas Sumatera Utara, 2012).
Lahan sulfat masam merupakan ekosistem yang potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, karena arealnya yang cukup luas sehingga mempunyai peran yang strategis dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Namun lahan sulfat masam bukan hanya cocok untuk tanaman padi, tapi juga tanaman pangan lainnya dan tanaman hortikultura dan perkebunan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatannya harus hati-hati dan terencana agar tidak mengalami degradasi dan menimbulkan masalah lingkungan. Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3) (Noor, 2004).
Pembentukkan Tanah Sulfat Masam
            Terbentuknya tanah sulfat masam bermula dari adanya endapan pirit (FeS2) yang mengalami oksida sulfat, ion hydrogen dan ion ferri. Dari daur belerang di alam yang berasal dari belerang (So) dan bahan organik diketahui bertumpu pada aktivitas oksida-reduksi yang dilakukan oleh mikroba (bakteri-bakteri belerang) baik dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Dalam pengendalian sifat fisika dan kimia tanah yang perlu diperhatikan aktifitas belerang dan mikrobia perombak bahan organik. Pembentukan tanah sulfat masam sebagai proses pengendapan atau sedimentasi marine berhubungan dengan penurunan permukaan air laut atau pengangkatan daratan. Selanjutnya tumbuh dan berkembangnya vegetasi di atas hamparan sedimen marine ini tergantung pada kemampuan adaptasi atau ketahanannya terhadap kondisi lingkungan, seperti kemasaman dan atau salinitas yang nisbi tinggi. Perubahan-perubahan akibat bencana alam atau kesalahan pengelolaan lingkungan mengakibatkan timbulnya pergantian jenis vegetasi asal yang tadinya bersifat kaya dalam keragaman (biodiversity) menjadi miskin (Noor, 2004).
            Secara umum pembentukan tanah merupakan hasil kerja sama dari 5 faktor yaitu: iklim, makhluk hidup (terutama vegetasi), bahan induk, topografi (relief) dan waktu. Dua faktor pertama disebut faktor aktif dan sangat menentukan kelakuan tanah yang terbentuk. Sedangkan 3 faktor terakhir merupakan faktor pasif. Ditinjau dari faktor iklim, curah hujan dan temperatur merupakan penentu utama perilaku tanah yang terbentuk apakah akan menjadi basa atau masam. Secara alamiah tanah masam terbentuk akibat curah hujan yang tinggi dan bahan induk yang masam. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan pelarutan dan penghanyutan kation kation basa. Selanjutnya bahan induk yang kaya Al, akan membebaskan sejumlah Al, dan kemudian mengalami hidrolisis dengan membebaskan sejumlah ion hidrogen yang memasamkan tanah. Di samping itu tanah masam juga dapat terjadi akibat oksidasi mineral pirit yang menghasilkan tanah sulfat masam. Tanpa di sadari tindakan budidaya juga dapat memperluas tanah bereaksi masam, seperti akibat penggunaan pupuk yang meninggalkan reaski asam (Jumia, 2014).
Klasifikasi Tanah Sulfat Masam
 Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu (1) tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah dan (2) semua jenis tanah yang digolongkan sebagai tanah sulfat masam aktual. Adapun yang dimaksud dengan tanah sulfat masam potensial yang dicirikan oleh warna kelabu, kemasaman sedang-sampai dengan masam (pH>4.0). sementara itu yang dimaksud dengan tanah sulfat masam aktual yang dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam atau pH< 3,5 (Noor, 2004).
a.      Pola Profil Tanah Sulfat Masam
Pola profil tanah sulfat masam sangat beragam sehingga sukar untuk menentukan pola umum. Hal ini selain karena kuatnya pengaruh dari faktor lingkungan fisik(seperti suhu, kelembapan, musim, dan hidrologi) terhadap tanah sulfat masam. Suatu fenomena yang menandakan masih berlangsungnya perkembangan tanah.

b.      Sistem Klasifikasi dan jenis Tanah Sulfat Masam
Sistem klasifikasi tanah FAO-Unesco (1994) mengelompokan tanah sulfat masam ke dalam jenis tanah  Thionic Fluvisol, Thionic Gleysol dan Thionic Histosol.  Sistem pengelomokan dan penamaan tanah yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian AS (USDA) tahun 1987, tanah sulfat masm dimasukan dalam kelompok inti (ordo) Entisol  dan Inceptisol di bawah kelompok utama (subordo)  regim kelembapan aquik (basah).
Ciri-ciri Tanah Sulfat Masam
                Tanah sulfat masam mempunyai pH rendah, kandungan H, Al, Fe(III), dan Mn tinggi, dan diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa rendah, serta kekurangan harahara lainnya. Tanah sulfat masam potensial merupakan lahan yang cukup sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah dan palawija, dan sangat baik untuk dibuat surjan karena posisi pirit yang dalam tidak mudah teroksidasi (Balai Penelitian Tanah, 2010).
Permasalahan Tanah Sulfat Masam
                Permasalahan yang umum dijumpai pada tanah sulfat masam adalah kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara  P  yang rendah dan fiksasi P yang  tinggi oleh Al dan Fe berakibat pada rendahnya hasil tanaman yang diusahakan. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun sehingga tanah menjadi tidak produktif.  Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari senyawa pirit (FeS2)  yang teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al  meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalny dianggap mampu mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi karena tanah sulfat masam memiliki pH yang  berfluktuasi bergantung  musim, maka ternyata pengapuran tidak efektif.  tersebut Hal tersebut dicirikan pada tanaman padi yang mengalami keracunan Al walaupun telah dilakukan pemberian kapur sebelum penanaman. Akibatnya  produksi padi pada tanah sulfat masam menjadi sangat rendah bahkan sampai tidak menghasilkan (Repository.usu.ac.id, 2011).
Penanganan Masalah Tanah Masam
Pada prinsipnya ada tiga kelompok cara penanganan masalah tanah masam yang berhubungan dengan pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian gulma di tingkat masyarakat, yaitu cara kimia, cara fisik-mekanik dan cara biologi. Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam praktek ketiga cara tersebut seringkali diterapkan secara bersama-sama.
1. Cara kimia
Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang sudah dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.
A. Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah masam dengan tujuan untuk:
a) Menaikkan pH tanah
b) Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
c) Menetralisir Al yang meracuni tanaman..
B. Pemupukan: penambahan unsur hara
a).  Waktu pemberian pupuk
Waktu pemberian pupuk harus diperhitungkan supaya pada saat pupuk diberikan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya, yang dikenal dengan istilah sinkronisasi Sementara pupuk P dan K bisa diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam.
b). Penempatan Pupuk
Penempatan pupuk harus diusahakan berada dalam daerah aktivitas akar, agar pupuk dapat diserap oleh akar tanaman secara efektif. Kesesuaian letak pupuk dengan posisi akar tanaman disebut dengan istilah sinlokalisasi.

c). Dosis pupuk
Jumlah pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman, supaya pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang percuma sehingga dapat menekan biaya produksi serta menghindari terjadinya polusi dan keracunan bagi tanaman.
C.  Penyemprotan herbisida
Tumbuhan pengganggu atau gulma yang tumbuh dalam lahan yang ditanami menyebabkan kerugian karena mengambil unsur hara dan air yang seharusnya dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu keberadaan dan pertumbuhan gulma harus ditekan.
2.Cara Fisik-Mekanik
Penanganan secara fisik mekanik terutama di tunjukan untuk perbaikan media pertumbuhan perakaran,penanggulangan gulma dan usaha penekanan erosi,hambatan kedalam perakaran yang di sebabkan oleh adanya lapisan keras dari kerikil mungkin dapat di atas dengan pembongkaran secara mekanik dengan pengolahan tanah dalam , misalnya dengan menggunakan gancu untuk menghancurkan bongkahan lateril tersebut.
Pengelolahan tanah dapat membantu menggemburkan tanah sehingga memperbaiki perkembangan akar tanaman dan mempercepat proses dekomposisi bahan organic tanah dan menetralisi hara sehingga memperbaiki pertumbuhan tanaman untuk beberapa tahun. Pengelolaan dengan cara fisik-mekanik ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu pengelolahan secara fisik mekanik biasanya memerlukan tenaga dalam jumlah banyak dan memerlukan waktu yang lama,tidak dapat mengatasi kekurangan bahan organic tanah karena biomasa yang di angkut keluar petak lahan melalui panen sangat banyak sementara jumlah yang di kembalikan sangat sedikit.
3.Cara Biologi
Prinsip prinsip pengelolahan kesuburan tanah secara biologi di kembangkan dari hasil pengalaman yang di peroleh dari sistem hutan alami di mana vegetasi  dapat tumbuh subur tanpa tambahan unsure hara dari luar. Hal ini menunjukan bahwa pepohonan berperan penting daalam pemeliharaan kesuburan tanah. Sistem hutan alami memiliki siklus hara yang tertutup,di mana hara yang di pergunakan untuk pertumbuhan pepohonan diambil dari tanah dan pohon juga akan mengembalikan sebagian hara tersebut ke daam tanah melalui daun ,ranting dan cabang yang gugur. Kenyataan yang terpenting dalam kondisi hutan ini adalah jumlah kehilangan hara melalui pencucian,erosi atau aliran permukaan sangat kecil. Oleh karena itu konsep pengelolaan tanah secara biologi adalah meniru sistem tertutup yang di jumpai di hutan.
2.      TANAH BERGARAM (SALIN)
Pengertian tanah Bergaram (Salin)
            Horizon-horizon penciri yang berkaitan dengan salinitas tinggi umumnya berkaitan dengan tanah-tanah salin di daerah arid dan semiarid misalnya horizon gipsik (akumulasi gipsum), horizon kalsik (akumulasi Ca atau Ca/Mg karbonat) , horizon salik (akumulasi garam-garam lebih mudah larut daripada gipsum) dan horizon natrik (ESP atau SAR tinggi) (Sipayung, 2003). Salinitas tanah padi sawah (pasang surut) biasanya terlalu rendah atau terlalu beragam untuk digunakan sebagai ktiteria penciri dalam taksonomi tanah. Tanah-tanah pantai yang salin umumnya tidak termasuk Halaquept, karena kadar garamnya tidak menurun (Hardjowigeno dan Rayes, 2005 D            alam http://repository.usu.ac.id).
Gypsum (CaSO4) memiliki fungsi sebagai reklamasi tanah sodik, meningkatkan agregasi tanah, perkolasi tanah, dan menurunkan pH tanah (Franzen et al.,2006). Gypsum dapat menggantikan ion sodium atau Na+ dalam tanah dengan Ca2+. Hal tersebut dapat mengakibatkan Na+ akan dibuang secara aktif sehingga dapat meningkatkan perkolasi tanah (FAO, 2005). Ca2+ di dalam akar berperan membatasi penyerapan Na+ dan meningkatkan penyerapan kalium (Hanafiah, 2007). Ca2+ secara bersamaan dapat menggantikan Na+ dalam kompleks pertukaran. Masing-masing senyawa Ca2+ mudah larut tidak akan mempengaruhi pH dan bersama air dapat menurunkan Na+ (Tan, 1995).  Abu sekam padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil pengolahan padi. Menurut Hadi (2005), abu sekam padi dapat menggantikan pupuk kimia dan sebagai sumber kalium dalam bentuk KCl pada penyediaan hara kalium di dalam tanah. Sekam padi dapat memperbaiki struktur tanah melalui agregasi dan perbaikan sifat tanah. Penggunaan abu sekam padi dapat menurunkan kepekaan tanah bertekstur debuan terhadap pendispersian tanah dan pada tanah lempung dapat meningkatkan ketahanan tanah terhadap kerusakan plastisitas tanah (Sutanto, 2006 dalam Suharyani dkk, 2012).
Pembentukan Tanah Bergaram
            Proses salinisasi tersebut terjadi karena garam NaCl yang dibawa lumpur marine akan terjerap oleh tanah, namun jerapan tersebut tidak sekuat bila dibandingkan dengan jerapan tanah terhadap Ca, Mg dan K .yang memungkinkan unsur Na demikian lebih mudah tercuci. Pencucian lebih mudah terjadi bila tanah mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah, tekstur kasar, dan curah hujan tinggi. Tetapi pada hasil analisa lumpur marine Sidoarjo yang terjadi justru sebaliknya, nilai KTK cukup tinggi (> 40 m.e.g) dengan sifat fisik yang didominasi fraksi liat /lempung (clay: 71,43%) maka proses pencucian menjadi kendala/ terhambat. Masih tingginya nilai DHL tanah dan air tanah yang masih tinggi (≥ 14 dSm-1) menjadikan upaya proses pencucian garam harus tetap dilakukan, karena pada umumnya batas aman untuk berbagai usaha pertanian adalah sebesar DHL < 2 dS/m (sebagai pada batas aman) (Thohiron dan Prasetyo, 2012).
 Penyebaran Tanah Salin
            Tanah salin dapat ditemukan di dua daerah yang berbeda, yaitu daerah pantai yakni salinitas yang disebabkan oleh genangan atau intrusi air laut dan daerah arid dan semi arid yakni salinitas yang disebabkan oleh evaporasi air tanah atau air permukaan.
a. Tanah Salin Daerah Pantai
Tanah salin daerah pantai dijumpai di daerah pasang surut yang berbatasan dengan garis pantai, Karakterisasi dan klasifikasi sulit dilakukan, karena sifatnya yang berubah-ubah akibat mobilitas yang tinggi dari garam-garam yang mudah larut. Hujan memindahkan garam-garam tersebut dengan mudah, baik secara vertikal maupun lateral atau mengencerkan konsentrasinya menjadi tidak beracun. Garam-garam dapat terkumpul di tempat-tempat rendah(cekungan) bersama-sama air rembesan atau aliran permukaan, atau di tempat yang lebih tinggi akibat evaporasi.
b. Tanah Salin di Daerah Arid dan Semiarid
Tanah jenis ini terbentuk akibat evaporasi yang selalu lebih tinggi daripada presipitasi. Air tanahnya sendiri mungkin tidak salin, tetapi gerakan air kapiler ke atas dan penguapan yang terus-menerus menyebabkan garam terakumulasi di lapisan tanah atas. Banyak ditemukan di daerah – daerah depresi (cekungan) di pedalaman yang berupa dataran lakustrin aluvial atau teras sungai.
c. Tanah Salin pada Tanah Sulfat Masam Muda

Tingginya DHL pada tanah ini disebabkan oleh oksidasi pirit yang menghasilkan H2SO4. Nilai pH tanah yang sangat rendah dapat menghancurkan liat sehingga membebaskan Al dan kation-kation lain. Larutan tanahnya didominasi oleh Al2(SO4)3 dan kation lain. Dalam keadaan ekstrim di musim kering, H2SO4 bebas dapat ditemukan, dalam musim banjir FeSO4 dapat menjadi dominan (Adhi, dkk, 1997).
Ciri-ciri Tanah Bergaram
Salinitas tanah menunjukkan besarnya kandungan garam mudah larut dalam tanah, sedang sodisitas menunjukkan tingginya kadar garam Na dalam tanah. Keracunan tanaman dapat terjadi bila kandungan garam mudah larut terlalu tinggi. Tanah salin adalah tanah yang mempunyai sifat – sifat berikut : (a). Daya hantar listrik tanah jenuh air (DHL) > 4 dS/m, (b). Persen Na dapat ditukar (ESP) < 15 dan (c). pH < 8,5. Ion – ion yang dominan pada tanah salin ialah : Na+ , Ca2+ , Mg2+ , Cl- , SO42- . NaCl merupakan penyebab salinitas utama. Pada tanah sulfat masam muda mengandung Al2 (SO4 )3 dan FeSO4 yang tinggi tetapi juga memenuhi syarat sebagai tanah salin (http://repository.usu.ac.id, 2012).
Permasalahan Tanah Bergaram
Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan air dan hara oleh tana tekanan osmotik. Secara khusus, keragaman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman terutama oleh ion Na dan Cl. Lahan salin atau lahan pantai adalah lahan rawa yang terkena pengaruh penyusupan air laut atau bersifat payau, yang dapat termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam, atau lahan gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan dalam setahun dengan kadar natrium dalam larutan tanah 8-15%. Berdasarkan tingkat salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu salin ringan, sedang, dan sangat salin. Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai sangat berat terutama dalam hal salinitas (http://awangmaharijaya.wordpress.com/, 2008).
Pengelolaan Tanah Bergaram
Pendekatan yang paling murah dan aman untuk budidaya di lahan salin adalah memilih tanaman yang toleran atau semi toleran, terutama untuk fase perkembangan bibit atau fase perkecambahan karena umumnya tanaman sensitif pada fase pertumbuhan. Suasana salin di pesemaian atau daerah perakaran akan mengurangi laju perkecambahan. Pendekatan lainnya dengan memberikan mulsa atau kapur, baik berupa kalsit, dolomit atau gypsum untuk menurunkan tingkat salinitas dengan menurunkan nilai SAR. Selain itu, menambah jumlah tanaman per luasan untuk mengkompensasi ukuran tanaman yang lebih kecil. Pengelolaan tanah Pengelolaan tanah dapat dilaksanakan dengan mencegah terjadinya akumulasi garam (salt) pada daerah perakaran, yaitu dengan mengatur gundukan barisan tanaman. Salah satu cara dengan double row bed pada tanah yang tingkat salintasnya tidak terlalu tinggi. Dengan cara single row bed maka akan terjadi akumulasi garam di daerah perakaran. Penggunaan irigasi sprinkler pada saat pre-emergen dapat mencegah akumulasi garam atau dengan spesial furrow (Rhodes dan Loveday, 1996). Penggunaan bahan-bahan kimia, seperti kapur, dapat memperbaiki perkembangan bibit tanaman, memperbaiki kualitas air yang masuk dan disimpan, meningkatkan pencucian garam-garam terlarut, mengurangi biaya pengolahan tanah. Bahan amelioran lainnya yang dapat digunakan adalah pupuk organik, baik berupa pupuk kandang, pupuk hijau, maupun kompos dari bahan sisa-sisa tanaman dan gulma. Tujuan pemberian bahan amelioran ini adalah untuk menyeimbangkan hara terutama terhadap ratio antara Na, Ca dan Mg atau menurunkan nilai ESP dari tanah (Yufdy dan Jemberi, 2012).
3.      TANAH KERING MARJINAL
Pengertian Tanah Kering Marjinal
            Istilah ”marginal” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah: 1. berhubungan dengan batas (tepi); tidak terlalu menguntungkan, 2. berada di pinggir. Memarginalkan berarti meminggirkan atau memojokkan. Dalam Merriam-Webster Dictionary, marginal defined as close to the lower limit of qualification, acceptability or function. Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahatani maupun aksesm informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian (Yuwono, 2011).
Ciri-Ciri Tanah Kering Marjinal
            Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol dan Oksisol. golongan/ordo Oksisol meliputi 35% luasan, diikuti oleh Ultisol 28% dan sisanya Alfisol 4% (NAP, 1982 cit Syekhfani, 1991). Oksisol dan Ultisol umumnya terdapat di daerah lembab yang mengalami tingkat pelapukan dan pencucian yang tinggi. Tanah-tanah yang termasuk dalam ordo ini didominasi oleh mineral liat kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium (Juo and Fox, 1981); dicirikan oleh tingkat kemasaman yang kuat, level unsur-unsur Ca, K dan Mg rendah dan proporsi kompleks pertukaran dijenuhi oleh aluminium. Defisiensi unsur N, P, K, Ca dan Mg umum dijumpai di lapang (miskin unsur hara) (Sanchez, 1992; Kang dan Juo, 1983), fiksasi P dan anion lain kuat, kadar lengas dan kapasitas simpan lengas tanah rendah dan rentan terhadap erosi (Sudjadi, 1984., Notohadiprawiro, 1989). Sifat/karakteristik seperti dimiliki oleh tanah-tanah yang didominasi Alfisol, Ultisol dan Oksisol, menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya rendah (Luthful Hakim, 2002), sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Minardi, 2009).
Permasalahan Tanah Kering Marjinal
            Lahan sub optimal atau lahan marginal atau lahan tidak subur secara nasional sangat luas, termasuk didalamnya adalah lahan rawa dan lahan kering. Pemerintah telah memprogramkan ekstensifikasi pertanian pangan yang dilakukan pada lahan sub optimal (LSO) yang terlantar, tidak produktif dan marjinal. Pengelolaan agribisnis pada lahan tersebut harus menyeimbangkan antara kemandirian pangan, peningkatan taraf hidup petani dan pelestarian lingkungan yang rendah emisi.Menurut data yang dimiliki Kementerian Riset dan Teknologi, Lahan sub optimal atau lahan marginal/ lahan tidak subur berpotensi untuk dioptimalkan (Barus, 2013).
            Azas pengolahan lahan kering adalah menciptakan lingkungan perakaran yang dalam, mempertahankan kemampuan tanah menyimpan air dan mengedarkan udara. Tindakan terakhir adalah memperkaya tanah dengan zat hara tersedia untuk akar (Go Ban Hong, 1976 dalam Hasnudi dan Saleh, 2004). Lingkungan perakaran yang dalam mensyaratkan pembuangan kelebihan air melalui rembesan dalam dan melalui aliran permukaan untuk memantapkan zarah-zarah (hara) tanah. Humus sebagai salah satu hasil perombakan zat organik membentuk zarah majemuk dan mantap (Hasnudi dan Saleh, 2004 dalam Nasiu, 2012).
            Untuk mengetahui apakah suatu lahan termasuk marginal jika digunakan untuk buidaya pertanian dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan (Tabel 1). Semakin banyak sifat tanah yang memiliki harkat tidak sesuai, menunjukkan lahan tersebut marginal. Teknologi dan masukan yang diterapkan pada suatu lahan dapat mengubah sifat tanah sehingga harkatnya menjadi lebih sesuai untuk pertanian (Yuwono, 2011).
            Salah satu teknologi yang dapat dikembangkan adalah Bioteknologi CMA (cendawan mikoriza arbuscular). Penggunaan cendawan mikoriza sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas dan kualitas tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah (Anonymous, 2007). Selain itu aplikasi cendawan mikoriza dapat membantu rehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan produktivitas tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan pada lahan marginal (Auge and Stodola, 1990 dalam http://repoitory.its.ac.id)
Pengelolaan Tanah Kering Marjinal
            Perbaikan tanah marginal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Hasil penelitian Handayani dkk. (2002) menunjukkan bahwa Melastoma dan Widelia mempunyai potensi dan peluang baik sebagai substrat organik untuk memperbaiki sistem bera, karena dapat mendukung proses mineralisasi secara cepat. Adanya kandungan N yang tinggi pada akar dan serasahnya juga turut menunjang proses pelepasan hara 4 secara cepat dibanding dengan biomassa vegetasi yang lain seperti Imperata cylindrica dan Saccharum cromolaena. Sedangkan Lumbantobing (1996) menunjukkan bahwa penanaman dan pembenaman Calopagonium mucunoides memberikan pengaruh terbaik dalam merehabilitasi sifat kimia tanah dengan meningkatkan pH, K , Ca, Mg , C-organik, dan KTK tanah (http://repository.unila.ac.id, 2014).


4.      LAHAN GAMBUT
Pengertian Tanah Gambut
Gambut mulai gencar dibicarakan orang sejak sepuluh tahun terakhir, ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budidaya dan sumber energi, tetapi juga memiliki peran yang lebih besar lagi dalam perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia (Najiyati et al, 2005 dalam Universitas Sumatera Utara, 2012).
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa, 2008).
Pembentukan Tanah Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
Penyebaran Tanah Gambut
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%, Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmaera dan Seram 3%( Radjagukguk, 1992; 1995  dalam Ratmini, 2012).
Klasifikasi Tanah Gambut
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: • Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%. • Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%. • Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa (Agus dan Subiksa, 2008).
Permasalahan Tanah Gambut
Pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian terdapat berbagai kendala baik fisik, kimia maupun biologis. Lahan gambut merupakan lahan yang sangat fragile dan produktivitasnya sangat rendah. Kendala sifat fisik gambut yang paling utama adalah sifat kering tidak balik (irriversible drying), sehingga gambut tidak dapat berfungsi lagi sebagai koloid organik. Produktivitas lahan gambut yang rendah karena rendahnya kandungan unsur hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman, tingkat kemasaman tinggi, serta rendahnya kejenuhan basa. Tingkat marginalitas dan fragilitas lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat gambut yang inherent, baik sifat fisik, kimia maupun biologisnya (Ratmini, 2008).
Pengelolaan Tanah Gambut
Reklamasi lahan gambut dengan pembuatan saluran drainase, kadar air akan segera menurun diikuti dengan mengkerutnya volume tanah sehingga permukaan tanah akan mengalami penurunan (subsiden). Subsiden juga disebabkan karena terjadinya proses dekomposisi bahan organik dan melepaskan CO2. Menurut Nugroho et al. (1995) kehilangan gambut akibat pengaruh pengolahan tanah mencapai 2,24 ton/ha/tahun (dari percobaan laboratorium).Tindakan pengelolaan air yang diperlukan untuk menghindari keringnya gambut adalah mempertahankan kedalaman air tanah agar gambut tetap lembab sampai ke permukaan, tapi tidak terlalu basah untuk memberikan aerasi yang baik pada tanaman. Bahaya selanjutnya bagi kelestarian gambut adalah munculnya tanah sulfat masam bila tanah mineral dibawah gambut mengandung pirit atau tanah pasir bila lapisan tanah dibawah gambut adalah pasir kuarsa (Hardjowigeno, 1995 dalam Ratmini, 2012).
5.      PEMANENAN AIR HUJAN
                Pemanenan Air Hujan         
Panen air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air hujan atau air aliran permukaan pada saat curah hujan tinggi untuk digunakan pada waktu curah hujan rendah. Panen air harus diikuti dengan konservasi air, yaitu menggunakan air yang sudah dipanen secara hemat sesuai kebutuhan ( Chao-Hsien Liaw and Yao-Lung Tsai, 2004 ).
Manfaat pemanenan air hujan, yaitu  dapat memanfaatkan air hujan untuk keperluan sehari-hari, teknologi pemanenan air hujan yang fleksibel, memperkecil dampak kekeringan dan mencapai pemeriksaan kekeringan, mengurangi laju impasan yang tersedak air badai saluran, banjir berkurang, meningkatkan kualitas air dan erosi tanah akan berkurang (Syarif,  2002 ).
Kerugian menggunakan panen air, yaitu memerlukan tenaga kerja & biaya untuk pemeliharaan rutin serta mengurangi luas lahan budidaya karena sebagaian besar lahan digunakan untuk pembanguna / tempat panen air (Pandey, dkk, 2009 ).

                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar