PENGELOLAHAN
TANAH DAN AIR
OLEH:
ARDINA/130301074
AGREOKOTEKNOLOGI
II
LABORATORIUM
KIMIA DAN KESUBURAN TANAH
PRAKTIKUM PENGELOLAAN TANAH DAN AIR
PROGRAM
STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
1.
TANAH
SULFAT MASAM
Pengertian tanah sulfat masam
Luas
lahan sulfat masam di dunia diperkirakan 14 juta ha, diantaranya 10 juta ha
tersebar diwilayah tropik. Sebagian lahan gambut dangkal di Indonesia
berasosiasi dengan sulfat masam. Hasil survei Euroconsult (1984) menunjukkan
luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 2 juta ha. Diperkirakan luas lahan
sulfat masam sekitar 6,70 juta ha. Keadaan ini menunjukkan terjadinya perluasan
lahan sulfat masam. Hal ini memnungkinkan karena terjadinya penipisan lapisan
atas (lapisan organik) sehingga mendekatkan lapisan pirit ke permukaan (Noor,
1996 dalam Repositori Universitas Sumatera Utara, 2012).
Lahan sulfat masam
merupakan ekosistem yang potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian,
karena arealnya yang cukup luas sehingga mempunyai peran yang strategis dalam
mendukung peningkatan produksi beras nasional. Namun lahan sulfat masam bukan
hanya cocok untuk tanaman padi, tapi juga tanaman pangan lainnya dan tanaman
hortikultura dan perkebunan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam
pemanfaatannya harus hati-hati dan terencana agar tidak mengalami degradasi dan
menimbulkan masalah lingkungan. Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan
karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang
apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi
masam sampai sangat masam (pH 2-3) (Noor, 2004).
Pembentukkan
Tanah Sulfat Masam
Terbentuknya tanah sulfat masam bermula dari adanya endapan
pirit (FeS2) yang mengalami oksida sulfat, ion
hydrogen dan ion ferri. Dari daur belerang di alam yang berasal dari belerang
(So) dan bahan organik diketahui bertumpu pada aktivitas oksida-reduksi yang
dilakukan oleh mikroba (bakteri-bakteri belerang) baik dalam keadaan aerobik
maupun anaerobik. Dalam pengendalian sifat fisika dan kimia tanah yang perlu
diperhatikan aktifitas belerang dan mikrobia perombak bahan organik.
Pembentukan tanah sulfat masam sebagai proses pengendapan atau sedimentasi
marine berhubungan dengan penurunan permukaan air laut atau pengangkatan
daratan. Selanjutnya tumbuh dan berkembangnya vegetasi di atas hamparan sedimen
marine ini tergantung pada kemampuan adaptasi atau ketahanannya terhadap
kondisi lingkungan, seperti kemasaman dan atau salinitas yang nisbi tinggi.
Perubahan-perubahan akibat bencana alam atau kesalahan pengelolaan lingkungan
mengakibatkan timbulnya pergantian jenis vegetasi asal yang tadinya bersifat
kaya dalam keragaman (biodiversity) menjadi miskin (Noor, 2004).
Secara
umum pembentukan
tanah merupakan hasil kerja sama dari 5 faktor yaitu: iklim, makhluk hidup
(terutama vegetasi), bahan induk, topografi (relief) dan waktu. Dua faktor
pertama disebut faktor aktif dan sangat menentukan kelakuan tanah yang
terbentuk. Sedangkan 3 faktor terakhir merupakan faktor pasif. Ditinjau dari
faktor iklim, curah hujan dan temperatur merupakan penentu utama perilaku tanah
yang terbentuk apakah akan menjadi basa atau masam. Secara alamiah tanah masam
terbentuk akibat curah hujan yang tinggi dan bahan induk yang masam. Curah
hujan yang tinggi akan menyebabkan pelarutan dan penghanyutan kation kation
basa. Selanjutnya bahan induk yang kaya Al, akan membebaskan sejumlah Al, dan
kemudian mengalami hidrolisis dengan membebaskan sejumlah ion hidrogen yang
memasamkan tanah. Di samping itu tanah masam juga dapat terjadi akibat oksidasi
mineral pirit yang menghasilkan tanah sulfat masam. Tanpa di sadari tindakan
budidaya juga dapat memperluas tanah bereaksi masam, seperti akibat penggunaan
pupuk yang meninggalkan reaski asam (Jumia, 2014).
Klasifikasi Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu (1) tanah
sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman
>50 cm dari permukaan tanah dan (2) semua jenis tanah yang digolongkan
sebagai tanah sulfat masam aktual. Adapun yang dimaksud dengan tanah sulfat
masam potensial yang dicirikan oleh warna kelabu, kemasaman sedang-sampai
dengan masam (pH>4.0). sementara itu yang dimaksud dengan tanah sulfat masam
aktual yang dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam
atau pH< 3,5 (Noor, 2004).
a. Pola
Profil Tanah Sulfat Masam
Pola
profil tanah sulfat masam sangat beragam sehingga sukar untuk menentukan pola
umum. Hal ini selain karena kuatnya pengaruh dari faktor lingkungan
fisik(seperti suhu, kelembapan, musim, dan hidrologi) terhadap tanah sulfat
masam. Suatu fenomena yang menandakan masih berlangsungnya perkembangan tanah.
b.
Sistem
Klasifikasi dan jenis Tanah Sulfat Masam
Sistem
klasifikasi tanah FAO-Unesco (1994) mengelompokan tanah sulfat masam ke dalam
jenis tanah Thionic Fluvisol, Thionic
Gleysol dan Thionic Histosol. Sistem
pengelomokan dan penamaan tanah yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian AS
(USDA) tahun 1987, tanah sulfat masm dimasukan dalam kelompok inti (ordo) Entisol
dan Inceptisol di bawah
kelompok utama (subordo) regim
kelembapan aquik (basah).
Ciri-ciri Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat
masam mempunyai pH rendah, kandungan H, Al, Fe(III), dan Mn tinggi, dan diikuti
dengan P tersedia dan kejenuhan basa rendah, serta kekurangan harahara lainnya.
Tanah sulfat masam potensial merupakan lahan yang cukup sesuai untuk digunakan
sebagai lahan sawah dan palawija, dan sangat baik untuk dibuat surjan karena
posisi pirit yang dalam tidak mudah teroksidasi (Balai Penelitian Tanah, 2010).
Permasalahan Tanah Sulfat Masam
Permasalahan
yang umum dijumpai pada tanah sulfat masam adalah kemasaman tanah yang tinggi,
ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al dan Fe berakibat pada
rendahnya hasil tanaman yang diusahakan. Kemasaman tanah yang tinggi memicu
larutnya unsur beracun sehingga tanah menjadi tidak produktif. Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal
dari senyawa pirit (FeS2) yang
teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan
pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya,
termasuk padi tidak dapat tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalny dianggap
mampu mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi karena tanah sulfat masam
memiliki pH yang berfluktuasi bergantung musim, maka ternyata pengapuran tidak
efektif. tersebut Hal tersebut dicirikan
pada tanaman padi yang mengalami keracunan Al walaupun telah dilakukan
pemberian kapur sebelum penanaman. Akibatnya
produksi padi pada tanah sulfat masam menjadi sangat rendah bahkan sampai
tidak menghasilkan (Repository.usu.ac.id, 2011).
Penanganan Masalah Tanah Masam
Pada prinsipnya ada
tiga kelompok cara penanganan masalah tanah masam yang berhubungan dengan
pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian gulma di tingkat masyarakat, yaitu
cara kimia, cara fisik-mekanik dan cara biologi. Masing-masing cara memiliki
kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam praktek ketiga cara tersebut
seringkali diterapkan secara bersama-sama.
1. Cara kimia
Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang sudah dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.
Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang sudah dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.
A. Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah masam dengan tujuan untuk:
a) Menaikkan pH tanah
b) Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
c) Menetralisir Al yang meracuni tanaman..
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah masam dengan tujuan untuk:
a) Menaikkan pH tanah
b) Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
c) Menetralisir Al yang meracuni tanaman..
B. Pemupukan:
penambahan unsur hara
a). Waktu
pemberian pupuk
Waktu pemberian pupuk harus diperhitungkan supaya pada saat pupuk diberikan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya, yang dikenal dengan istilah sinkronisasi Sementara pupuk P dan K bisa diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam.
b). Penempatan Pupuk
Penempatan pupuk harus diusahakan berada dalam daerah aktivitas akar, agar pupuk dapat diserap oleh akar tanaman secara efektif. Kesesuaian letak pupuk dengan posisi akar tanaman disebut dengan istilah sinlokalisasi.
c). Dosis pupuk
Jumlah pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman, supaya pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang percuma sehingga dapat menekan biaya produksi serta menghindari terjadinya polusi dan keracunan bagi tanaman.
Waktu pemberian pupuk harus diperhitungkan supaya pada saat pupuk diberikan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya, yang dikenal dengan istilah sinkronisasi Sementara pupuk P dan K bisa diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam.
b). Penempatan Pupuk
Penempatan pupuk harus diusahakan berada dalam daerah aktivitas akar, agar pupuk dapat diserap oleh akar tanaman secara efektif. Kesesuaian letak pupuk dengan posisi akar tanaman disebut dengan istilah sinlokalisasi.
c). Dosis pupuk
Jumlah pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman, supaya pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang percuma sehingga dapat menekan biaya produksi serta menghindari terjadinya polusi dan keracunan bagi tanaman.
C. Penyemprotan
herbisida
Tumbuhan pengganggu atau gulma yang tumbuh dalam lahan yang ditanami menyebabkan kerugian karena mengambil unsur hara dan air yang seharusnya dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu keberadaan dan pertumbuhan gulma harus ditekan.
Tumbuhan pengganggu atau gulma yang tumbuh dalam lahan yang ditanami menyebabkan kerugian karena mengambil unsur hara dan air yang seharusnya dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu keberadaan dan pertumbuhan gulma harus ditekan.
2.Cara Fisik-Mekanik
Penanganan
secara fisik mekanik terutama di tunjukan untuk perbaikan media pertumbuhan
perakaran,penanggulangan gulma dan usaha penekanan erosi,hambatan kedalam
perakaran yang di sebabkan oleh adanya lapisan keras dari kerikil mungkin dapat
di atas dengan pembongkaran secara mekanik dengan pengolahan tanah dalam ,
misalnya dengan menggunakan gancu untuk menghancurkan bongkahan lateril
tersebut.
Pengelolahan
tanah dapat membantu menggemburkan tanah sehingga memperbaiki perkembangan akar
tanaman dan mempercepat proses dekomposisi bahan organic tanah dan menetralisi
hara sehingga memperbaiki pertumbuhan tanaman untuk beberapa tahun. Pengelolaan
dengan cara fisik-mekanik ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu
pengelolahan secara fisik mekanik biasanya memerlukan tenaga dalam jumlah
banyak dan memerlukan waktu yang lama,tidak dapat mengatasi kekurangan bahan
organic tanah karena biomasa yang di angkut keluar petak lahan melalui panen
sangat banyak sementara jumlah yang di kembalikan sangat sedikit.
3.Cara Biologi
Prinsip prinsip pengelolahan
kesuburan tanah secara biologi di kembangkan dari hasil pengalaman yang di
peroleh dari sistem hutan alami di mana vegetasi dapat tumbuh subur tanpa tambahan unsure hara
dari luar. Hal ini menunjukan bahwa pepohonan berperan penting daalam
pemeliharaan kesuburan tanah. Sistem hutan alami memiliki siklus hara yang
tertutup,di mana hara yang di pergunakan untuk pertumbuhan pepohonan diambil
dari tanah dan pohon juga akan mengembalikan sebagian hara tersebut ke daam tanah
melalui daun ,ranting dan cabang yang gugur. Kenyataan yang terpenting dalam
kondisi hutan ini adalah jumlah kehilangan hara melalui pencucian,erosi atau
aliran permukaan sangat kecil. Oleh karena itu konsep pengelolaan tanah secara
biologi adalah meniru sistem tertutup yang di jumpai di hutan.
2.
TANAH BERGARAM (SALIN)
Pengertian
tanah Bergaram (Salin)
Horizon-horizon
penciri yang berkaitan dengan salinitas tinggi umumnya berkaitan dengan
tanah-tanah salin di daerah arid dan semiarid misalnya horizon gipsik
(akumulasi gipsum), horizon kalsik (akumulasi Ca atau Ca/Mg karbonat) , horizon
salik (akumulasi garam-garam lebih mudah larut daripada gipsum) dan horizon
natrik (ESP atau SAR tinggi) (Sipayung, 2003). Salinitas tanah padi sawah
(pasang surut) biasanya terlalu rendah atau terlalu beragam untuk digunakan
sebagai ktiteria penciri dalam taksonomi tanah. Tanah-tanah pantai yang salin
umumnya tidak termasuk Halaquept, karena kadar garamnya tidak menurun
(Hardjowigeno dan Rayes, 2005 D alam
http://repository.usu.ac.id).
Gypsum
(CaSO4) memiliki fungsi sebagai reklamasi tanah sodik, meningkatkan agregasi
tanah, perkolasi tanah, dan menurunkan pH tanah (Franzen et al.,2006).
Gypsum dapat menggantikan ion sodium atau Na+ dalam tanah dengan Ca2+. Hal
tersebut dapat mengakibatkan Na+ akan dibuang secara aktif sehingga dapat
meningkatkan perkolasi tanah (FAO, 2005). Ca2+ di dalam akar berperan membatasi
penyerapan Na+ dan meningkatkan penyerapan kalium (Hanafiah, 2007). Ca2+ secara
bersamaan dapat menggantikan Na+ dalam kompleks pertukaran. Masing-masing
senyawa Ca2+ mudah larut tidak akan mempengaruhi pH dan bersama air dapat
menurunkan Na+ (Tan, 1995). Abu sekam
padi merupakan produk samping yang melimpah dari hasil pengolahan padi.
Menurut Hadi (2005), abu sekam padi dapat menggantikan pupuk kimia dan sebagai
sumber kalium dalam bentuk KCl pada penyediaan hara kalium di dalam tanah.
Sekam padi dapat memperbaiki struktur tanah melalui agregasi dan perbaikan sifat
tanah. Penggunaan abu sekam padi dapat menurunkan kepekaan tanah bertekstur
debuan terhadap pendispersian tanah dan pada tanah lempung dapat meningkatkan
ketahanan tanah terhadap kerusakan plastisitas tanah (Sutanto, 2006 dalam
Suharyani dkk, 2012).
Pembentukan Tanah Bergaram
Proses salinisasi
tersebut terjadi karena garam NaCl yang dibawa lumpur marine akan terjerap oleh
tanah, namun jerapan tersebut tidak sekuat bila dibandingkan dengan jerapan
tanah terhadap Ca, Mg dan K .yang memungkinkan unsur Na demikian lebih mudah
tercuci. Pencucian lebih mudah terjadi bila tanah mempunyai kapasitas tukar
kation (KTK) yang rendah, tekstur kasar, dan curah hujan tinggi. Tetapi pada
hasil analisa lumpur marine Sidoarjo yang terjadi justru sebaliknya, nilai KTK
cukup tinggi (> 40 m.e.g) dengan sifat fisik yang didominasi fraksi liat
/lempung (clay: 71,43%) maka proses pencucian menjadi kendala/ terhambat. Masih
tingginya nilai DHL tanah dan air tanah yang masih tinggi (≥ 14 dSm-1)
menjadikan upaya proses pencucian garam harus tetap dilakukan, karena pada
umumnya batas aman untuk berbagai usaha pertanian adalah sebesar DHL < 2
dS/m (sebagai pada batas aman) (Thohiron dan Prasetyo, 2012).
Penyebaran Tanah Salin
Tanah salin dapat ditemukan di dua
daerah yang berbeda, yaitu daerah pantai yakni salinitas yang disebabkan oleh
genangan atau intrusi air laut dan daerah arid dan semi arid yakni salinitas
yang disebabkan oleh evaporasi air tanah atau air permukaan.
a. Tanah Salin Daerah Pantai
Tanah salin daerah pantai dijumpai di
daerah pasang surut yang berbatasan dengan garis pantai, Karakterisasi dan
klasifikasi sulit dilakukan, karena sifatnya yang berubah-ubah akibat mobilitas
yang tinggi dari garam-garam yang mudah larut. Hujan memindahkan garam-garam
tersebut dengan mudah, baik secara vertikal maupun lateral atau mengencerkan
konsentrasinya menjadi tidak beracun. Garam-garam dapat terkumpul di
tempat-tempat rendah(cekungan) bersama-sama air rembesan atau aliran permukaan,
atau di tempat yang lebih tinggi akibat evaporasi.
b. Tanah Salin di Daerah Arid dan
Semiarid
Tanah jenis ini terbentuk akibat
evaporasi yang selalu lebih tinggi daripada presipitasi. Air tanahnya sendiri
mungkin tidak salin, tetapi gerakan air kapiler ke atas dan penguapan yang
terus-menerus menyebabkan garam terakumulasi di lapisan tanah atas. Banyak
ditemukan di daerah – daerah depresi (cekungan) di pedalaman yang berupa
dataran lakustrin aluvial atau teras sungai.
c. Tanah Salin
pada Tanah Sulfat Masam Muda
Tingginya DHL pada
tanah ini disebabkan oleh oksidasi pirit yang menghasilkan H2SO4. Nilai pH tanah
yang sangat rendah dapat menghancurkan liat sehingga membebaskan Al dan
kation-kation lain. Larutan tanahnya didominasi oleh Al2(SO4)3 dan kation lain.
Dalam keadaan ekstrim di musim kering, H2SO4 bebas dapat ditemukan, dalam musim banjir
FeSO4 dapat menjadi
dominan (Adhi, dkk, 1997).
Ciri-ciri Tanah Bergaram
Salinitas
tanah menunjukkan besarnya kandungan garam mudah larut dalam tanah, sedang
sodisitas menunjukkan tingginya kadar garam Na dalam tanah. Keracunan tanaman
dapat terjadi bila kandungan garam mudah larut terlalu tinggi. Tanah salin
adalah tanah yang mempunyai sifat – sifat berikut : (a). Daya hantar listrik tanah jenuh air (DHL) > 4 dS/m, (b).
Persen Na dapat ditukar (ESP) < 15 dan (c). pH < 8,5. Ion – ion yang
dominan pada tanah salin ialah : Na+ , Ca2+ , Mg2+ , Cl- , SO42- . NaCl
merupakan penyebab salinitas utama. Pada tanah sulfat masam muda mengandung Al2
(SO4 )3 dan FeSO4 yang tinggi tetapi juga memenuhi syarat sebagai tanah salin (http://repository.usu.ac.id, 2012).
Permasalahan
Tanah Bergaram
Kelarutan garam yang tinggi dapat
menghambat penyerapan air dan hara oleh tana tekanan osmotik. Secara khusus,
keragaman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman terutama oleh ion Na dan
Cl. Lahan salin atau lahan pantai adalah lahan rawa yang terkena pengaruh
penyusupan air laut atau bersifat payau, yang dapat termasuk lahan potensial,
lahan sulfat masam, atau lahan gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak
selama 3 bulan dalam setahun dengan kadar natrium dalam larutan tanah 8-15%.
Berdasarkan tingkat salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga
tipologi, yaitu salin ringan, sedang, dan sangat salin. Kendala produksi pada
jenis lahan ini sedang sampai sangat berat terutama dalam hal salinitas (http://awangmaharijaya.wordpress.com/,
2008).
Pengelolaan Tanah Bergaram
Pendekatan yang paling murah dan aman
untuk budidaya di lahan salin adalah memilih tanaman yang toleran atau semi
toleran, terutama untuk fase perkembangan bibit atau fase perkecambahan karena
umumnya tanaman sensitif pada fase pertumbuhan. Suasana salin di pesemaian atau
daerah perakaran akan mengurangi laju perkecambahan. Pendekatan lainnya dengan
memberikan mulsa atau kapur, baik berupa kalsit, dolomit atau gypsum untuk
menurunkan tingkat salinitas dengan menurunkan nilai SAR. Selain itu, menambah
jumlah tanaman per luasan untuk mengkompensasi ukuran tanaman yang lebih kecil.
Pengelolaan tanah Pengelolaan tanah dapat dilaksanakan dengan mencegah
terjadinya akumulasi garam (salt) pada daerah perakaran, yaitu dengan mengatur
gundukan barisan tanaman. Salah satu cara dengan double row bed pada tanah yang
tingkat salintasnya tidak terlalu tinggi. Dengan cara single row bed maka akan
terjadi akumulasi garam di daerah perakaran. Penggunaan irigasi sprinkler pada
saat pre-emergen dapat mencegah akumulasi garam atau dengan spesial furrow
(Rhodes dan Loveday, 1996). Penggunaan bahan-bahan kimia, seperti kapur, dapat
memperbaiki perkembangan bibit tanaman, memperbaiki kualitas air yang masuk dan
disimpan, meningkatkan pencucian garam-garam terlarut, mengurangi biaya
pengolahan tanah. Bahan amelioran lainnya yang dapat digunakan adalah pupuk
organik, baik berupa pupuk kandang, pupuk hijau, maupun kompos dari bahan
sisa-sisa tanaman dan gulma. Tujuan pemberian bahan amelioran ini adalah untuk
menyeimbangkan hara terutama terhadap ratio antara Na, Ca dan Mg atau menurunkan
nilai ESP dari tanah (Yufdy dan Jemberi, 2012).
3.
TANAH KERING MARJINAL
Pengertian Tanah Kering Marjinal
Istilah
”marginal” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah: 1. berhubungan
dengan batas (tepi); tidak terlalu menguntungkan, 2. berada di pinggir. Memarginalkan
berarti meminggirkan atau memojokkan. Dalam Merriam-Webster Dictionary,
marginal defined as close to the lower limit of qualification, acceptability or
function. Lahan marginal dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu
rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu
keperluan tertentu. Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan
masukan, atau biaya yang harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti
budidaya pertanian di lahan marginal tidak akan memberikan keuntungan.
Ketertinggalan pembangunan pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di
semua sektor, baik biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahatani maupun aksesm
informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian (Yuwono, 2011).
Ciri-Ciri
Tanah Kering Marjinal
Secara
umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah kering didominasi oleh
jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol dan Oksisol.
golongan/ordo Oksisol meliputi 35% luasan, diikuti oleh Ultisol 28% dan sisanya
Alfisol 4% (NAP, 1982 cit Syekhfani, 1991). Oksisol dan Ultisol umumnya
terdapat di daerah lembab yang mengalami tingkat pelapukan dan pencucian yang
tinggi. Tanah-tanah yang termasuk dalam ordo ini didominasi oleh mineral liat
kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium (Juo and Fox, 1981); dicirikan
oleh tingkat kemasaman yang kuat, level unsur-unsur Ca, K dan Mg rendah dan
proporsi kompleks pertukaran dijenuhi oleh aluminium. Defisiensi unsur N, P, K,
Ca dan Mg umum dijumpai di lapang (miskin unsur hara) (Sanchez, 1992; Kang dan
Juo, 1983), fiksasi P dan anion lain kuat, kadar lengas dan kapasitas simpan
lengas tanah rendah dan rentan terhadap erosi (Sudjadi, 1984., Notohadiprawiro,
1989). Sifat/karakteristik seperti dimiliki oleh tanah-tanah yang didominasi
Alfisol, Ultisol dan Oksisol, menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya
rendah (Luthful Hakim, 2002), sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya.
Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan kering memiliki kelerengan
curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah
bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15−30%), dengan luas
masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Minardi, 2009).
Permasalahan
Tanah Kering Marjinal
Lahan
sub optimal atau lahan marginal atau lahan tidak subur secara nasional sangat
luas, termasuk didalamnya adalah lahan rawa dan lahan kering. Pemerintah telah memprogramkan
ekstensifikasi pertanian pangan yang dilakukan pada lahan sub optimal (LSO)
yang terlantar, tidak produktif dan marjinal. Pengelolaan agribisnis pada lahan
tersebut harus menyeimbangkan antara kemandirian pangan, peningkatan taraf
hidup petani dan pelestarian lingkungan yang rendah emisi.Menurut data yang
dimiliki Kementerian Riset dan Teknologi, Lahan sub optimal atau lahan
marginal/ lahan tidak subur berpotensi untuk dioptimalkan (Barus, 2013).
Azas
pengolahan lahan kering adalah menciptakan lingkungan perakaran yang dalam,
mempertahankan kemampuan tanah menyimpan air dan mengedarkan udara. Tindakan
terakhir adalah memperkaya tanah dengan zat hara tersedia untuk akar (Go Ban
Hong, 1976 dalam Hasnudi dan Saleh, 2004). Lingkungan perakaran yang dalam
mensyaratkan pembuangan kelebihan air melalui rembesan dalam dan melalui aliran
permukaan untuk memantapkan zarah-zarah (hara) tanah. Humus sebagai salah satu
hasil perombakan zat organik membentuk zarah majemuk dan mantap (Hasnudi dan
Saleh, 2004 dalam Nasiu, 2012).
Untuk mengetahui apakah suatu lahan
termasuk marginal jika digunakan untuk buidaya pertanian dapat dilakukan
evaluasi kesesuaian lahan (Tabel 1). Semakin banyak sifat tanah yang memiliki
harkat tidak sesuai, menunjukkan lahan tersebut marginal. Teknologi dan masukan
yang diterapkan pada suatu lahan dapat mengubah sifat tanah sehingga harkatnya
menjadi lebih sesuai untuk pertanian (Yuwono, 2011).
Salah
satu teknologi yang dapat dikembangkan adalah Bioteknologi CMA (cendawan
mikoriza arbuscular). Penggunaan cendawan mikoriza sebagai alat biologis dalam
bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas dan kualitas
tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah (Anonymous, 2007). Selain itu
aplikasi cendawan mikoriza dapat membantu rehabilitasi lahan kritis dan
meningkatkan produktivitas tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan pada lahan
marginal (Auge and Stodola, 1990 dalam http://repoitory.its.ac.id)
Pengelolaan
Tanah Kering Marjinal
Perbaikan tanah marginal dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Hasil penelitian Handayani dkk. (2002)
menunjukkan bahwa Melastoma dan Widelia mempunyai potensi dan
peluang baik sebagai substrat organik untuk memperbaiki sistem bera, karena
dapat mendukung proses mineralisasi secara cepat. Adanya kandungan N yang
tinggi pada akar dan serasahnya juga turut menunjang proses pelepasan hara 4
secara cepat dibanding dengan biomassa vegetasi yang lain seperti Imperata
cylindrica dan Saccharum cromolaena. Sedangkan Lumbantobing (1996)
menunjukkan bahwa penanaman dan pembenaman Calopagonium mucunoides memberikan
pengaruh terbaik dalam merehabilitasi sifat kimia tanah dengan meningkatkan pH,
K , Ca, Mg , C-organik, dan KTK tanah (http://repository.unila.ac.id,
2014).
4.
LAHAN
GAMBUT
Pengertian Tanah Gambut
Gambut
mulai gencar dibicarakan orang sejak sepuluh tahun terakhir, ketika dunia mulai
menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai
pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budidaya
dan sumber energi, tetapi juga memiliki peran yang lebih besar lagi dalam
perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan
cadangan karbon dunia (Najiyati et al, 2005 dalam Universitas Sumatera
Utara, 2012).
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan
tanah kaya bahan organic (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau
lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman
yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back
swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa,
2008).
Pembentukan Tanah Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman
yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah
karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota
pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
Penyebaran Tanah Gambut
Indonesia memiliki
lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau
10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di
empat pulau besar yaitu di Sumatera 35%, Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil
ada di Sulawesi, Halmaera dan Seram 3%( Radjagukguk, 1992; 1995 dalam Ratmini, 2012).
Klasifikasi Tanah Gambut
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai
sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan
posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi: • Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%. • Gambut hemik (setengah matang) (Gambar
2, bawah) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa
dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%. • Gambut
fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya
masih tersisa (Agus dan Subiksa, 2008).
Permasalahan Tanah Gambut
Pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian
terdapat berbagai kendala baik fisik, kimia maupun biologis. Lahan gambut
merupakan lahan yang sangat fragile dan produktivitasnya sangat rendah. Kendala
sifat fisik gambut yang paling utama adalah sifat kering tidak balik
(irriversible drying), sehingga gambut tidak dapat berfungsi lagi sebagai
koloid organik. Produktivitas lahan gambut yang rendah karena rendahnya
kandungan unsur hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman, tingkat
kemasaman tinggi, serta rendahnya kejenuhan basa. Tingkat marginalitas dan
fragilitas lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat gambut yang
inherent, baik sifat fisik, kimia maupun biologisnya (Ratmini, 2008).
Pengelolaan Tanah Gambut
Reklamasi lahan gambut dengan pembuatan saluran
drainase, kadar air akan segera menurun diikuti dengan mengkerutnya volume
tanah sehingga permukaan tanah akan mengalami penurunan (subsiden). Subsiden
juga disebabkan karena terjadinya proses dekomposisi bahan organik dan
melepaskan CO2. Menurut Nugroho et al. (1995) kehilangan gambut akibat
pengaruh pengolahan tanah mencapai 2,24 ton/ha/tahun (dari percobaan
laboratorium).Tindakan pengelolaan air yang diperlukan untuk menghindari
keringnya gambut adalah mempertahankan kedalaman air tanah agar gambut tetap
lembab sampai ke permukaan, tapi tidak terlalu basah untuk memberikan aerasi
yang baik pada tanaman. Bahaya selanjutnya bagi kelestarian gambut adalah
munculnya tanah sulfat masam bila tanah mineral dibawah gambut mengandung pirit
atau tanah pasir bila lapisan tanah dibawah gambut adalah pasir kuarsa
(Hardjowigeno, 1995 dalam Ratmini, 2012).
5. PEMANENAN
AIR HUJAN
Pemanenan
Air Hujan
Panen air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air
hujan atau air aliran permukaan pada saat curah hujan tinggi untuk digunakan
pada waktu curah hujan rendah. Panen air harus diikuti dengan konservasi air,
yaitu menggunakan air yang sudah dipanen secara hemat sesuai kebutuhan (
Chao-Hsien Liaw and Yao-Lung Tsai, 2004 ).
Manfaat pemanenan air hujan, yaitu dapat memanfaatkan air hujan untuk keperluan
sehari-hari, teknologi pemanenan air hujan yang fleksibel, memperkecil dampak
kekeringan dan mencapai pemeriksaan kekeringan, mengurangi laju impasan yang
tersedak air badai saluran, banjir berkurang, meningkatkan kualitas air dan
erosi tanah akan berkurang (Syarif, 2002 ).
Kerugian menggunakan panen air, yaitu memerlukan tenaga
kerja & biaya untuk pemeliharaan rutin serta mengurangi luas lahan budidaya
karena sebagaian besar lahan digunakan untuk pembanguna / tempat panen air (Pandey,
dkk, 2009 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar